KORUPSI DI PARLEMEN, PARTAI POLITIK, DAN PEMILU

Bambang Widjojanto, Dosen Luar Biasa Universitas Trisakti, Dewan Etik Indonesia Corruption Watch

Tanpa tedeng aling-aling, Hamka Yandhu pada kesaksiannya di Pengadilan Khusus Tipikor secara rinci membeberkan sejawatnya sendiri. Mereka terlibat korupsi dalam kasus aliran dana BI. Tidak tanggung-tanggung, Hamka menuding sebagian besar anggota Komisi IX DPR Periode 1999-2004 yang berjumlah 52 menerima dana dari Bank Indonesia dengan nilai total Rp 21,6 miliar.

Kesaksian itu mengonfirmasi sinyalemen yang sudah lama ada di benak kebanyakan kalangan, parlemen adalah salah satu tempat transaksi hak dan kewenangan yang melekat pada dewan, yaitu pengawasan, anggaran dan legislasi. Asumsi dasar yang diajukan sangat jelas dan sederhana. Ketiga kewenangan yang melekat sangat eksesif, tetapi tanpa disertai mekanisme kontrol yang bersifat komprehensif dan efektif agar setiap penggunaan kewenangan dapat dipastikan mempunyai akuntabilitas yang tinggi

Itu sebabnya kalangan yang pesimistis selalu berujar korupsi di parlemen adalah sesuatu yang lumrah dan pasti terjadi. Apa yang dikemukakan Hamka mestinya tidak perlu membuat kita terkejut, tetapi yang justru membuat kita tercengang, Hamka mempunyai keberanian yang luar biasa membeberkan secara gamblang, kebrengsekan yang dilakukan begitu banyak anggota DPR.

Pada satu kasus aliran dana BI itu saja, ada 52 orang anggota Dewan yang terlibat atau sekitar 10 persen dari seluruh anggota. Ada ratusan masalah yang perlu diawasi. Kesemuanya potensial mengandung problem atau setidaknya dipermasalahkan sehingga membuka peluang terjadinya penyalahgunaan kewenangan.

Lihat saja kasus lainnya, Bupati Bintan Ansar Ahmad di dalam kesaksiannya pada kasus Al Amin Nasution pada Pengadilan Khusus Tipikor tanggal 28 Juli 2008 menyatakan: ”Ketua Komisi IV DPR, Jusuf Faishal dan Wakil Ketua Komisi IV Hilman Indra meminta disediakan uang sebesar 700 ribu dolar Singapura untuk semua anggota Komisi IV DPR periode 2004-2009 berkenaan dengan urusan pelepasan hutan lindung”.

Fakta di atas tidak dapat serta-merta dipakai untuk menuding seluruh anggota parlemen terindikasi korupsi. Namun, fakta tersebut telah memperlihatkan massifitas sikap dan perilaku koruptif serta kolusif di sebagian besar anggota Dewan.

Berbagai upaya
Di dalam situasi sedemikian, parlemen harus melakukan berbagai upaya strategis untuk meminimalisasi dampak lebih lanjut yang dapat menyebabkan DPR kehilangan dasar moralitas dan sekaligus mengalami proses delegitimasi atas hak dan kewenangannya. Citra dan kewibawaan DPR akan terus merosot tak terkendali justru di ujung akhir pengabdian pada periode 2004-2009.

Badan Kehormatan DPR harus mengubah peran tradisionalnnya sekadar menjadi guardian atas kehormatan anggota Dewan. Upaya-upaya strategis yang bersifat progresif untuk menerapkan sistem pencegahan guna meminimaliasi potensi korupsi harus dilakukan.

Rakyat tentu kian cerdas dan memerhatikan dengan saksama kasus-kasus korupsi yang kini tengah dihadapi anggota Dewan. Saya menduga rakyat tidak dapat lagi terus menerus ditipu dengan simbol dan slogan yang sama sekali bertolak belakang dengan kepentingan dan kebutuhannya. Lebih-lebih telah banyak dilakukan program smart voters dan pendidikan penyadaran agar rakyat tidak keliru memilih wakil-wakilnya.

Apalagi, sebagian kalangan juga telah meluncurkan program antipolitisi busuk. Pendeknya, rakyat potensial akan menggunakan hak politiknya secara lebih cerdas dan akan menghukum kandidat Dewan dan/atau partai yang tidak amanah mengemban tugas dan kewajibannya serta menjalankan kewenangannya.

Kasus-kasus korupsi di parlemen tidak dapat dilepaskan dari peran partai politik dan akan sangat berkaitan erat dengan pemilu 2009. Ada situasi dilematis yang harus dihadapi partai, di sebagian besar partai proses rekruitmen dan pengaderan tidak dilakukan secara sistematis dan profesional sehingga partai hanya punya kader yang terbatas jumlah dan kualitasnya.

Waktu yang kian sempit dan terbatas untuk segera mengajukan daftar calon tidak memungkinkan partai leluasa untuk mendapat kader terbaik. Partai bisa saja mengambil potensial kandidat yang bukan berasal dari kader, tetapi partai sesungguhnya tidak melakukan proses talent scouting secara maksimal.

Persoalan menjadi runyam karena adanya keterbatasan sumber daya untuk mempersiapkan proses rekrutmen, pengaderan secara optimal, dan pemenangan pemilu 2009. Ada banyak partai yang bersikap pragmatis, mempertukarkan posisi kandidat partai dalam daftar calon anggota legislatif pada pihak yang mampu memberikan kompensasi asal dapat menanggulangi keterbatasan sumber daya partai.

Jika problem hulu di partai tidak dapat dikelola secara baik maka partai akan menyumbang problem mendasar di parlemen karena para kandidat partai yang akan menjadi anggota parlemen bukanlah kandidat yang teruji dan terukur kompetensi serta integritasnya karena mereka tidak dipersiapkan secara sungguh-sungguh. Bila kondisinya seperti itu, tidak akan mungkin ada perubahan yang signifikan atas sikap dan perilaku anggota Dewan pada periode mendatang.

Kewenangan eksesif yang dimiliki anggota Dewan hanya akan menghasilkan kemudharatan bila dikelola oleh anggota Dewan yang tidak kredibel dan amanah serta akan menimbulkan kenistaan karena ketiadaan mekanisme pengawasan dan sistem akuntabilitas yang jelas. Hal lain yang juga sangat mengerikan, keterbatasan sumber daya yang dihadapi partai potensial memicu problem lainnya dan menyebabkan situasi menjadi lebih rawan.

Ada kecenderungan yang kian menguat, orang-orang partai yang memegang jabatan publik memiliki potensi untuk mengeksploitasi jabatan publiknya demi kepentingan partainya karena pemilu 2009 memerlukan biaya yang besar. Tidak hanya itu, kepala daerah tertentu yang didukung dan berafiliasi pada partai tertentu juga memiliki kemungkinan untuk menggunakan kekuasaan secara diskriminatif.

Pada situasi seperti ini, tidak hanya terjadi potensi korupsi yang dilakukan dengan cara menyalahgunakan kewenangan pada jabatan publik oleh kalangan partai menjadi tak terelakkan. Tetapi, juga terjadi ketidakpuasan pada sebagian kalangan atas sikap diskriminasi kepala daerah atau pejabat negara tertentu sehingga dapat mendorong munculnya instabilitas sosial.

Di sisi lainnya, kompleksitas problem seperti dikemukakan di atas merupakan tantangan bagi partai, kandidat anggota Dewan, dan siapa pun untuk mewakafkan waktu, komitmen, kompetensi, dan integritasnya untuk berladang dan berniaga di jalan kemaslahatan. Pemilu 2009 dapat menjadi momentum yang strategis untuk meluruskan niat dan iktikad agar senantiasa berpihak pada kepentingan rakyat kebanyakan yang kian rentan dan terus-menerus dijadikan dhuafa dan ditindas secara sistematik.

Partai dan kader-kadernya juga dihadapkan pada situasi dilematis karena tidak semua partai akan menggunakan akal sehat yang berpijak pada nurani serta kepatuhan yang tegak lurus pada aturan pemilu. Kemenangan bukan menjadi satu-satunya tujuan karena proses demokratis yang beradab yang harus dikedepankan.

Pada situasi itu, kecurangan harus tetap ditabukan, jangan gunakan segala cara untuk menghalalkan segala hal. Semoga juga pemilu tidak justru meningkatkan kepiawaian memanipulasi simbol dan slogan yang pada akhirnya hanya menyesatkan pemilih.


ikhtisar:
– Masyarakat makin cerdas dan memerhatikan kasus-kasus korupsi yang dihadapi anggota DPR.
– Harus ada perubahan yang signifikan di Badan Kehormatan DPR.
– Perlu perubahan yang mendasar pada semua partai untuk mencegah kader yang tak bermoral.

Harian Republika, 2008-08-02 08:05:00

http://www.republika.co.id/launcher/view/mid/22/kat/24/news_id/2479

PERILAKU MENYIMPANG

Beberapa hari ini, istilah ‘perilaku menyimpang’ dan ‘psikopat’ sangat populer di masyarakat. Dua istilah itu disebut di mana-mana dan oleh berbagai kalangan, terutama media massa. Yang memopulerkan adalah Very Idham Henyansyah alias Ryan, pemuda dari Dusun Maijo, Desa Jatiwates, Kecamatan Tembelang, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Ia disebut-sebut telah membunuh sedikitnya sebelas orang dengan kesadaran penuh dan, konon, tanpa rasa penyesalan sedikit pun. Karena itulah Ryan dikatakan sebagai berperilaku menyimpang dan sebagai psikopat.

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, ‘menyimpang’ bermakna tidak menurut jalan yang betul, menyalahi kebiasaan, aturan, hukum, dan sebagainya serta menyeleweng atau sesat. Kata dasarnya ‘simpang’ yang berarti memisah, membelok, dan melenceng dari yang lurus. Sedangkan, ‘psikopat’, menurut Wikipedia Indonesia, bermakna sakit jiwa.

Psikopat berasal dari kata psyche yang berarti jiwa dan pathos yang berarti penyakit. Psikopat tak sama dengan gila (skizofrenia/psikosis) karena seorang psikopat sadar sepenuhnya atas perbuatannya. Menurut penelitian, sekitar satu persen dari total populasi dunia mengidap psikopati. Pengidap ini sulit dideteksi karena sebanyak 80 persen lebih banyak yang berkeliaran daripada yang mendekam di penjara atau di rumah sakit jiwa, pengidapnya juga sukar disembuhkan.

Dengan definisi seperti itu, tepatlah bila Ryan disebut berperilaku menyimpang dan seorang psikopat: menjagal para korbannya dengan kesadaran penuh dan tanpa rasa berdosa, lebih menyukai laki-laki daripada perempuan, serta merampas harta para korbannya sebelum dibunuh. Karena itu, orang-orang seperti Ryan jelas membahayakan masyarakat. Namun, kita juga perlu mengingatkan bahwa yang berperilaku menyimpang dan menderita psikopati tersebut bukan hanya Ryan seorang. Ada banyak masyarakat di sekitar kita yang mengidap hal serupa dan melakukannya dengan lebih canggih. Memang, yang terakhir ini barangkali tidak membunuh dan menyukai sesama jenis.

Namun, bahaya yang ditimbulkan bisa lebih besar dari perbuatan Ryan. Sebut, sebagai misal, para koruptor; para perusak lingkungan ( illegal logging); para teroris; pengedar narkoba; para penyalahgunaan kekuasaan; para penguasa yang tidak amanah; serta orang-orang yang mengatasnamakan rakyat, namun untuk kepentingan diri sendiri dan kelompoknya. Mereka yang tersebut ini melakukan kejahatannya dengan lebih canggih dan korbannya bisa lebih dahsyat dari sekadar kejahatan Ryan. Kejahatan mereka bisa menyebabkan penderitaan rakyat yang berkepanjangan.

Mereka ini, merujuk pada pendapat Robert D Hare, guru besar di Universitas British Columbia, Kanada, yang juga dikenal sebagai ahli psikopati dunia, bisa disebut sebagai psikopat. Dalam aksinya, masih menurut Hare, para psikopat selalu membuat kamuflase yang rumit, memutar balik fakta, serta menebar fitnah dan kebohongan untuk mendapatkan kepuasan dan keuntungan diri sendiri. Sebagian besar dari mereka berpenampilan baik, pandai bertutur kata, memesona, mempunyai daya tarik luar biasa, dan menyenangkan.

Apakah Anda, terutama para pejabat negara, politisi, pemimpin masyarakat, dan aparat hukum, menunjukkan ciri-ciri seperti yang disebutkan Prof Robert D Hare tersebut? Bila jawabannya ya, Anda tidak beda jauh dengan Ryan. Anda bisa disebut sebagai berperilaku menyimpang dan psikopat.

Namun, sebagaimana Ryan, para perilaku menyimpang dan psikopat tidak akan pernah mengakui perbuatannya sampai kemudian terbongkar kejahatan mereka. Karena itu, masyarakat harus lebih pintar. Kita harus waspada terhadap para pemimpin yang menunjukkan perilaku menyimpang dan menderita psikopati.

Harian Republika, 2008-08-04 07:47:00

http://www.republika.co.id/launcher/view/mid/22/kat/47

GAIRAH, KETERASINGAN, DAN KORUPSI POLITIK

Dr Hamdi Muluk, Psikolog Politik Universitas Indonesia

Bagaimana kita harus memaknai perjalanan demokrasi kita akhir-akhir ini? Kita baru saja melololoskan 34 partai politik peserta pemilu yang siap bertarung untuk Pemilu 2009. Kita sudah dan akan melaksanakan pemilihan langsung kepala daerah (pilkada) sebanyak 437 kali.
Rasanya sepanjang perjalanan Indonesia berdemokrasi (dengan catatan khusus pengecualian pada era 1955- an), baru pada era Reformasi inilah ?gairah? dan semarak kehidupan politik begitu tinggi dan semarak.
Namun pertanyaan mendasar yang patut diajukan: apakah semua hiruk pikuk ini menghasilkan pencapaian politik yang substansial seperti output kebijakan yang bermutu, pelaksanaan kebijakan yang bersih, akuntabel, dan transparan (yang lazim disebut sebagai “good governance”)?
Pertanyaan lain yang juga substansial, apakah semua kegairahan ini melahirkan pembelajaran politik yang bagus buat warga negara (partisipatif, kritis, pengetahuan politik yang baik) yang akan menjadi basis sebuah kultur politik yang kuat? Sejauh ini kita tidak mempunyai sebuah atau beberapa penelitian komprehensif untuk menjawab keseluruhan gugatan di atas.
Pengamatan atas data dan fakta, baik dari laporan media atau beberapa penelitian, dapat kita kemukakan sebagai berikut. Pertama,hasil penelitian oleh lembaga Demos menunjukkan bahwa prestasi demokrasi kita yang paling bisa dibanggakan adalah kebebasan berpendapat dan berserikat (terlihat dari makin bebasnya kehidupan pers dan meningkatnya jumlah organisasi masa dan politik).
Kedua,ternyata sejauh ini kita tidak kunjung melahirkan produk kebijakan yang bermutu, baik dari lembaga DPR maupun pemerintahan. Ketiga catatan praktik good government pada lembaga-lembaga negara pada umumnya masih buruk. Keempat, ternyata demokratisasi justru tidak berhasil menekan angka korupsi.
Amatan secara kualitatif terhadap kasus-kasus korupsi yang ditangani KPK menunjukkan porsi korupsi terbesar justru didominasi kasus-kasus korupsi politik (penyuapan oleh pengusaha atau institusi dan melibatkan aktor politisi dan partai politik).
Kelima,dari segi psikologi politik rakyat,dalam pengertian tingkat pengetahuan politik, partisipasi politik yang sehat,kultur politik yang beradab belum memuaskan. Hasil penelitian Demos dan beberapa hasil survei lembaga seperti Tempo, LSI, LP3ES juga mengarah pada tidak berhasilnya gairah demokrasi tingkat tinggi tersebut dalam meningkatkan derajat sofistikasi warga negara Indonesia. Pertanyaan lanjutannya, mengapa ini bisa terjadi serta demokrasi ini sebenarnya buat siapa?
Kegagalan proses demokratisasi pasca-Reformasi ini bersumber pada gagalnya konsolidasi kekuatan pro- Reformasi dalam membangun sebuah sistem politik yang tidak terfragmentasi, kuat,bersih, dan terinstitusi (institutionalized).Kekuatan politik pascarezim otoritarian (pasca-Soeharto) tidak menghasilkan sebuah rezim yang solid yang mempunyai kekuatan penuh untuk melakukan reformasi institusional.
Jumlah partai politik yang banyak, sudah tentu jumlah politisi yang ikut bertarung (pada pemilu legislatif dan pilkada) juga lebih banyak. Masalahnya, jumlah yang banyak tersebut justru tidak diikuti dengan kualitas yang memadai (terbukti dengan rendahnya kinerja politisi tersebut baik yang duduk di eksekutif ataupun legislatif).
Untuk “menipu” para pemilih di tengah jumlah petarung politik yang besar tersebut,politisi tidak punya pilihan selain menyewa konsultan politik untuk memoles citra mereka.Pada titik inilah terjadi komplikasi serius dengan hirukpikuk politik tersebut. Biaya untuk me moles citra tersebut sangatlah luar bisa besar untuk ukuran penghasilan rata-rata orang Indonesia.
Kalkulasi pukul rata untuk biaya seorang calon bupati/gubernur paling rendah 2 miliar rupiah,maka estimasi biaya pembelanjaan iklan sekitar 476 pilkada (dengan rata-rata 3 kandidat) akan mencapai 2 x 476 x 3 = Rp2.856 miliar. Hasil wawancara dengan Hotline Adv yang dimuat sebuah media mengonfirmasi pengeluaran keseluruhan biaya belanja iklan para politikus dan partai politik pada Pemilu 2004 mencapai Rp10 triliun.
Dia memperkirakan jumlah pengeluaran tersebut untuk 2008?2009 dengan adanya pilkada dan pemilu legislatif plus pemilu presiden akan naik menjadi sekitar Rp35 triliun. Sebuah jumlah yang sangat dramatis. Dari mana datangnya dana sebesar itu? Apalagi hanya satu dua partai politik yang didukung oleh pendanaan publik? Jawabannya tidak perlu diragukan lagi: uang haram yang berasal dari korupsi,kolusi para politikus dan pengusaha.
Sudah lama dikeluhkan bahwa keuangan partai tidak pernah bisa diaudit secara menyeluruh asal-muasalnya. Undang-undang kita belum ?galak? mengenai soal ini.Korea Selatan sebagai perbandingan tidak memperbolehkan lagi pengusaha menyumbang untuk partai.Sumber keuangan partai di sana hanya diperbolehkan dari hasil ?sedekah? dari rakyat dengan jumlah ?receh?,tapi berakumulasi menjadi besar.
Dengan tidak berdayanya kita dalam memperkuat institusi penegakan hukum (lihat betapa keroposnya kejaksaan, kepolisian, dan pengadilan kita), gairah politik tingkat ini hanya akan menghasilkan deretan moral hazard dengan makin maraknya korupsi politik sebagai konsekuensi dari tingginya biaya politik di negeri ini.
Keadaan ini sesuai dengan hasil penelitian Jakob Musila (2007) dan Michael T Rock (2007) bahwa memacu demokratisasi di tengah lemahnya institusi penegakan hukum justru akan memperbesar tingkat korupsi, bukan sebaliknya. Risiko psikologis lain yang tidak kurang seriusadalah gejala ?alienasi politik? di tingkat masyarakat.
Fragmentasi politik yang tidak jelas konsistensinya (tidak jelasnya ideologi yang mewujud dalam bentuk kinerja/ program nyata) hanya akan membuat bingung para pemilih, tetapi suka atau tidak suka kita dipaksa untuk memilih mereka. Pada akhirnya voter menjadi tidak berdaya dan akan bersikap apatis.
Konsekuensi lain adalah, paling tidak, voter akan memilih dengan dasar-dasar yang tidak rasional (popularitas, ketampanan, dan hal-hal lain yang bukan substansi politik).Jadi,sebegitu jauh riuh rendah maraknya proses politik tidak kunjung menghasilkan budaya politik yang ajek.
Bagaimana cara kita keluar dari lingkaran setan demokrasi semu yang mengakibatkan tidak kunjung munculnya pembangunan institusi, kemunduran budaya politik,dan maraknya korupsi politik? Lingkaran mana yang harus kita potong terlebih dahulu? Pertama,harus didorong proses penyederhanaan jumlah partai politik menjadi empat atau lima, atau maksimal tujuh partai politik yang benarbenar kuat, jelas basis ideologi dan program kerjanya.
Dengan begitu partai benar-benar menyaring politisi yang berkualitas untuk duduk dalam partai. Untuk mencapai hal ini, batas electoral threshold harus ditingkatkan menjadi minimal 10%. Kedua, kita harus mendorong UU yang sangat ketat dan ?galak? dalam mengatur keuangan partai. Batas sumbangan dari pengusaha (perusahaan) terus-menerus diperkecil.Yang lebih penting adalah UU memungkinkan untuk mengaudit dan menelusuri sampai ke hulu soal asal-usul keuangan partai.
Ketiga, melengkapi metode “penjeraan” yang ditetapkan KPK. Reformasi total aparat penegak hukum adalah sebuah keniscayaan (necessary condition) yang tidak bisa dielakkan. Bagaimanapun tingginya risiko, apa pun pilihan metodenya,pilihan untuk mereformasi total institusi ini harus segera didorong. Hanya dengan berbekal dukungan institusi hukum yang bersih, proses mendorong demokratisasi akan membuahkan hasil (output) politik yang substansial.(*)

Senin, 4 Agustus 2008-09:57 wib

http://news.okezone.com/index.php/ReadStory/2008/08/04/58/133548/gairah-keterasingan-dan-korupsi-politik

PEMIMPIN DARI NEGERI DONGENG

Iman Sugema

Ketika Nabi Muhammad SAW wafat, ada empat sahabat yang layak untuk dijadikan pemimpin umat Islam pada waktu itu, yakni Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali. Jiwa kepemimpinan mereka sudah teruji di medan perang, dakwah, dan kehidupan sehari-hari.

Namun, tak ada satu pun di antara mereka yang ”berambisi” menggantikan Nabi dan mereka saling mendorong yang lainnya untuk jadi pemimpin. Mereka tahu dengan pasti bahwa memimpin sebuah negara bukanlah pekerjaan yang mudah. Salah sedikit bisa buat celaka seisi negeri sehingga terbukalah pintu lebar ke neraka buat dirinya. Bagi para sahabat itu, menjadi pemimpin adalah sebuah hal yang sangat menakutkan dan bukan untuk dinikmati.

Kesadaran bahwa tanggung jawab pemimpin sangat berat, tampaknya kurang disadari oleh para ”elite” kita saat ini. Malahan, media kita sedang dipenuhi oleh kegenitan mereka yang ingin jadi presiden, gubernur, dan bupati. Pasang iklan di TV seolah-olah menjadi salah satu syarat untuk dinilai layak sebagai calon pemimpin.

Ada anak kemarin sore yang tak jelas asal usulnya tiba-tiba menyatakan siap untuk jadi pemimpin. Ada yang di masa lalunya punya hobi membobol kekayaan negara tiba-tiba merasa memenuhi syarat menjadi presiden. Ada yang menjadi “agen” asing tiba-tiba merasa bisa memahami amanat hati nurani rakyat. Ada yang jiwanya dipenuhi dengan kebencian tiba-tiba merasa bisa menyayangi rakyat. Mungkin, mereka pikir kita adalah sebuah negeri dongeng yang tak kenal masalah. Di negeri dongeng, pemimpinnya gagah, santun, dihormati, berpakaian perlente, dan tak perlu memerhatikan nasib rakyat. Semuanya sudah gemah ripah loh jinawi.

Tapi, kita bukanlah negeri dongeng. Terlalu banyak orang yang miskin dan menganggur. Terlalu banyak kekayaan negara yang digerogoti oleh tangan-tangan yang tak bertanggung jawab, terutama korporasi asing. Terlalu banyak anggaran yang disia-siakan, dikorupsi, dan dihambur-hamburkan untuk keperluan yang tidak jelas juntrungannya. Terlalu banyak kebijakan ekonomi yang dirancang untuk memakmurkan kepentingan asing dan bukannya untuk kepentingan rakyat.

Kita tidak hanya memerlukan pemimpin baru, tapi jauh lebih penting lagi adalah cara berpikir dan bertindak baru. Kawan saya, Rizal Ramli, mengistilahkannya sebagai jalan baru. Roosevelt menyebutnya sebagai new deal. Gus Dur, Amien Rais, dan Hidayat Nur Wahid menyikapinya dengan mendirikan Komite Penyelamatan Kekayaan Negara yang bisa jadi merupakan langkah awal bagi penyelamatan negara secara keseluruhan.

Kalau saja sebagian dari kekayaan alam bisa kita selamatkan untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kepentingan rakyat, kita akan dengan leluasa membiayai program antikemiskinan dan penurunan angka pengangguran. Sahabat saya dari serikat pekerja Pertamina, Abdullah Sodik, memperkirakan kerugian negara akibat salah urus pengelolaan minyak bumi yang bisa mencapai lebih dari empat ratus triliun rupiah. Belum lagi, kita memperhitungkan potensi kerugian negara di bidang gas, batu bara, mineral, dan kehutanan.

Kerugian negara terjadi bukan hanya karena pejabat kita korup dan lalai dalam mengelola aset negara. Tetapi, lebih parah lagi, kebocoran memang sudah didesain melalui peraturan dan perundang-undangan. Dalam kontrak production sharing migas, misalnya, tidak ada batasan yang jelas mengenai jenis biaya apa saja yang bisa diklaim ke dalam ongkos produksi. Kontrak juga tidak memaksa para kontraktor untuk melakukan penghematan. Akibatnya, biaya lifting minyak menggelembung sampai 24 dolar AS per barel. Sementara itu, di negara lain, ongkos lifting hanya dua sampai enam dolar AS saja.

Kita harus secara serius menangani carut-marut di sektor migas karena akan menjadi basis bagi perbaikan ekonomi secara keseluruhan. Reformasi di sektor ini di beberapa negara telah terbukti manjur dalam membangkitkan perekonomian. Sebagai gambaran, Putin berhasil menyelamatkan perekonomian Rusia yang hampir bangkrut dililit utang dengan cara ”membereskan” sektor migas. Pengusaha migas yang curang dan tak bayar pajak, ia jebloskan ke penjara dan perusahaannya dinasionalisasi. Dengan uang dari migas, utang dilunasi lebih cepat dan pertumbuhan ekonomi dipacu.

Pertanyaannya, adakah di antara para pemimpin kita yang sanggup meniru langkah Putin? Di Amerika Latin, ada Chavez, Morales, dan Lula. Di Indonesia siapa? Biarlah Gusti Allah memilihkan yang tepat untuk kita. Amien.

Harian Republika, 2008-08-04 06:55:00

http://www.republika.co.id/launcher/view/mid/22/kat/26

FIKIH DEMONSTRASI

Nur Faizin Muhith, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, dan Calon Mufti di Darul Ifta’ Mesir.

Demonstrasi adalah pernyataan protes yang dikemukakan secara massal (KBBI 1997), baik protes itu ditujukan kepada seseorang maupun kelompok atau pemerintahan. Dia juga biasa disebut dengan istilah unjuk rasa. Ensiklopedi Britannic online memberikan definisi demonstrasi dengan a public display of group feelings toward a person or cause. (tahun 2008).

Di seluruh dunia, termasuk juga di Indonesia, demonstrasi seakan menjadi sebuah cara bagi orang-orang lemah yang terbungkam untuk menyuarakan inspirasi kepada pihak yang kuat. Secara khusus di Indonesia semenjak demo akbar yang digelar mahasiswa menurunkan Presiden Soeharto pada 1998 lalu, demonstrasi selalu menjadi kejadian yang menghiasi berita-berita harian masyarakat Indonesia.

Dalam bahasa Arabnya demonstrasi diterjemahkan dengan muzhaharat (demonstrasi) dan juga masirah (long-march). Dua kata yang hampir mirip tetapi dalam pandangan Islam memiliki muatan hukum yang tidak sama. Jika yang pertama sering mendekati pada hukum haram (hurmah), yang kedua seakan sangat jelas diperbolehkan (ibahah).