MENGAPA ORANG MENTAATI HUKUM (Kritisi Terhadap Teori Kedaulatan Hukum dari Krabbe Ditinjau Dari Sisi Filsafat Hukum)

A.PENDAHULUAN

Pertanyaan tentang mengapa orang mentaati hukum merupakan contoh pertanyaan yang bersifat mendasar yang menjadi salah satu pokok bahasan filsafat hukum, oleh karena jawaban terhadap pertanyaan ini merupakan pertimbangan nilai-nilai dalam bentuk kaidah hukum yang masuk dalam tataran dunia nilai, tataran sollen. Seperti kita ketahui, bahwa filsafat hukum menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh ilmu hukum. Ketika ilmu hukum tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar mengenai hukum, maka saat itu pulalah filsafat hukum mulai bekerja dalam mempelajari pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab tersebut.
B.KERANGKA PIKIR
Analisis terhadap pertanyaan mengapa orang mentaati hukum, menggunakan kerangka pikir dari Krabbe dengan teori kedaulatan hukumnya dimana dikatakan bahwa kaidah hukum memperoleh daya mengikatnya karena nilai batinnya atau nilai keadilannya sendiri. Teori kedaulatan hukum mendalilkan bahwa undang-undang tidak mengikat karena pemerintah menghendakinya, melainkan karena ia merupakan perumusan kesadaran hukum dari rakyat. Sehingga oleh karenanya masyarakat mengakui kaidah tersebut dengan cara mentaatinya. Undang-undang berlaku berdasarkan nilai batinnya, yakni berdasarkan hukum yang menjelma didalamnya. Teori kedaulatan hukum pada dasarnya tidak mengakui kekuasaan seseorang, ia hanya mengakui kekuasaan batin dari hukum; ia tidak menerima kekuasaan pemerintahan yang dilakukan oleh orang yang memerintah atas kuasa diri sendiri (suo jure), akan tetapi semata-mata menerima kekuasaan pemerintahan yang dikeluarkan oleh hukum dan yang berlaku menurut peraturan-peraturan hukum. Hal yang paling penting bukanlah negara atau pemerintah, melainkan hukum. Hukum tidak memperoleh kekuatan mengikatnya dari kehendak pemerintah, melainkan pemerintahlah yang memperoleh kekuasaannya dari hukum. Akan tetapi dari manakah datangnya hukum itu dan bagaimanakah ia memperoleh kekuatan mengikatnya? Hukum bertitik tolak pada perasaan hukum dan mendapatkan otoritasnya dari kesesuaiannya dengan perasaan-perasaan individu. Akan tetapi hukum sebagai kaidah masyarakat harus tetap berfungsi untuk mengendalikan kehendak individu itu sendiri yang berdasarkan pada keyakinan hukum bersama. Dalam tataran empiris, terjadinya kesamaan keyakinan hukum merupakan sesuatu yang jarang terjadi. Perasaan hukum dan keyakinan hukum seseorang akan sangat berbeda dengan yang lainnya. Sehingga konsekuensi dari ajaran Krabbe adalah timbulnya kaidah yang beraneka ragam, sebanyak keyakinan hukum sebanyak itu pulalah jumlah kaidah. Akan tetapi pergaulan hidup dalam masyarakat menghendaki kesatuan kaidah hukum: hukum harus sama untuk semua anggota masyarakat, sehingga kesamaan hukum merupakan suatu conditio sine qua non untuk mencapai tujuan hukum, yakni mengatur masyarakat.
Karena keyakinan-keyakinan hukum orang berlainan, kita harus memilih antara berbagai isi hukum untuk mencapai kesatuan hukum. Bagaimanakah kita harus memilih? Dalam menjawab pertanyaan tersebut, Krabbe bertitik pangkal kepada apa yang dipandangnya sebagai aksioma :”persamaan derajat individu-individu yang turut membentuk hukum, atau dengan perkataan lain, persamaan kualitatif kesadaran hukum yang ada pada diri tiap-tiap orang”. Krabbe menarik kesimpulan, bahwa hukum adalah sesuatu yang memenuhi kesadaran hukum rakyat terbanyak dan dari mayoritas mutlak. Rumus tersebut dilakukannya sedemikian konsekuen, sehingga ia tidak mengakui kekuatan mengikat dari undang-undang yang tidak sesuai dengan kesadaran hukum orang terbanyak tersebut, sehingga menurutnya undang-undang seperti ini, seharusnya tidak diberlakukan lagi oleh hakim dan oleh karenanya harus dicabut oleh pemerintah.
Oleh karenanya menurut Krabbe, keseragaman kaidah hukum lebih penting daripada isi kaidah hukum, karena kaidah hukum merupakan perumusan kesadaran hukum dari rakyat, sehingga berdasarkan hal tersebut masyarakat mengakui kaidah tersebut dengan cara mentaatinya.
C.ANALISIS
Jika kita telaah lebih lanjut, maka melalui teorinya itu, Krabbe telah melakukan suatu kesalahan (ad absurdum). Dalam keadaan seperti itu, bagaimana nasib kepastian hukum serta perlindungan masyarakat terhadap kesewenang-wenangan hakim dan birokrasi. Dan bagaimana halnya nasib kesatuan kaidah hukum, jika para hakim dan aparatur pemerintah diperkenankan bahkan diserahi kewajiban untuk menyampingkan undang-undang (bahkan undang-undang dasar) dalam melakukan tugasnya jika menurut pertimbangan mereka, undang-undang (termasuk undang-undang dasar) tidak sesuai dengan kesadaran hukum dari rakyat terbanyak. Kelemahan teori Krabbe tersebut terjadi oleh karena ia menyamakan hukum dengan kesadaran hukum. Sehingga jika teori Krabbe dilaksanakan secara konsekuen dalam implementasinya, dipastikan suatu ketika akan terjadi suatu keadaan dimana seluruh hukum akan terhapus dengan alasan sudah tidak sesuai dengan kesadaran hukum mayoritas masyarakat, yang berarti lumpuhnya kewibawaan undang-undang.
Jika suatu tatanan masyarakat berkeinginan untuk menjadi lebih daripada hanya sekedar tatanan kekuasaan belaka, maka konsekuensinya ia harus memenuhi hal-hal yaitu merupakan suatu tatanan hukum serta harus memenuhi kesadaran kesusilaan dan kesadaran rakyat itu sendiri, artinya memenuhi pandangan-pandangan yang berlaku didalam masyarakat itu tentang apa yang baik dan adil. Didalam kedua hal tersebut, disitulah letaknya otoritas hukum yang menyebabkan masyarakat mentaati hukum. Pada hakekatnya, hukum kebiasaan, yaitu yang tumbuh dan berkembang dari masyarakat adalah hukum yang dapat memenuhi hal tersebut di atas. Hal ini sesuai pula dengan ucapan Paulus, seorang ahli hukum Romawi, yang mengatakan bahwa penjelmaan hukum terbaik adalah kebiasaan (optima iuris interpres consuetudo).
Sejak awal, hukum tidak pernah dapat memuaskan keinginan manusia sebagai suatu alat yang menjadi rambu-rambu antara perbuatan yang benar dan yang salah secara sempurna. Hukum yang bekerja terlalu kuat misalnya justru malah menimbulkan ketidakadilan (summum ius summa iniuria). Kenyataan seperti itu memperlihatkan adanya pertentangan antara rambu-rambu yang dibuat oleh hukum di satu pihak dan fleksibilitas yang dituntut oleh hubungan sosial di pihak lain. Gambaran mengenai kehidupan hukum yang seperti itu, akan menjadi jelas jika dalam mengamatinya kita menggunakan kacamata hukum dan masyarakat, yaitu yang melihat kehidupan hukum tersebut tidak hanya sebagai fungsi dari peraturan, tetapi juga dari kebijakan (policy) pelaksanaannya serta tingkah laku masyarakat.
D.KESIMPULAN DAN SARAN
Dari uraian-uraian di atas, dan setelah memperkaya (encrichment) dan melakukan elaborasi terhadap pendapat Krabbe tentang teori kedaulatan hukum, maka sangat jelas bahwa orang/masyarakat mentaati hukum oleh karena undang-undang berlaku berdasarkan nilai batinnya, yakni berdasarkan hukum yang menjelma didalamnya. Undang-undang tidak mengikat karena pemerintah menghendakinya, melainkan karena ia merupakan perumusan kesadaran hukum dari rakyat. Terjadilah suatu keadaan keseimbangan (equilibrium) implementasi kaidah hukum dalam masyarakat antara konsistensi penegakkan tatanan hukum, pencerminan kesadaran kesusilaan dan kesadaran rakyat itu sendiri dan fleksibilitas kaidah hukum dalam melakukan pengaturan hubungan-hubungan sosial.
Diperlukan suatu kerjasama yang kondusif antara pemerintah dengan badan legislatif dalam menyusun suatu perundang-undangan yang berdasarkan kesadaran kesusilaan dan kesadaran hukum rakyat. Hukum perundang-undangan harus merupakan hukum kebiasaan yang ditulis dari dan karena hal-hal yang merupakan dasar-dasar pokok kesadaran rakyat. Keyakinan logis dari suatu bangsa terhadap hukum yang memuat pandangan-pandangan kesusilaan dan pandangan-pandangan hukum rakyat akan menciptakan suatu ketertiban, membawa konsekuensi logis bahwa terhadap undang-undang bersangkutan, yaitu rakyat dengan sangat rela memberikan otoritas yang mengikat, sekalipun juga seandainya undang-undang atau peraturan-peraturan tertentu ternyata tidak sesuai dengan pandangan-pandangan yang berlaku dalam masyarakat. Jika suatu tatanan hukum kehilangan dasar tersebut—bahwa keyakinan rakyat adalah tatanan hukum—maka lenyaplah segala otoritasnya dan berakhirlah ia sebagai hukum, walaupun ia dapat hidup terus beberapa waktu hanya sebatas sebagai tatanan otoritas.

*)Makalah penulis saat menuntut ilmu pada Magister Hukum, Program Pasca Sarjana, Universitas Jayabaya, Jakarta.

DAFTAR PUSTAKA
1.Bruggink, J.J.H., terjemahan Arief Sidharta, Refleksi Tentang Hukum, Citra Adtya Bakti, Bandung, 1999
2.d’ Entreves, A.P., terjemahan Wirasutisna Haksan, Pengantar Filsafat Hukum, Bhratara, Jakarta 1963
3.Peters, A.A.G.; Siswosoebroto, Koesriani, Hukum dan Perkembangan Sosial, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, 1987
4.Rahardjo, Satjipto, Permasalahan Hukum di Indonesia, Alumni, Bandung, 1977
5.Van Apeldoorn, L.J., Pengantar Ilmu Hukum, terjemahan Sadino, Oetarid, Noor Komala, Jakarta, 1962
6.Van Kan, J.; Beekhuis, J.H., Pengantar Ilmu Hukum, terjemahan Masdoeki, Moh O., Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990

3 komentar di “MENGAPA ORANG MENTAATI HUKUM (Kritisi Terhadap Teori Kedaulatan Hukum dari Krabbe Ditinjau Dari Sisi Filsafat Hukum)

Tinggalkan Balasan ke CODENAME : SNAKE Batalkan balasan